JENIS-JENIS FONT :
Lucida handwriting : Merupakan jenis font yang mempunyai artian sebagai tulisan tangan, jenis font seperti ini mempunyai ciri-ciri seperti tulisan tangan tegak bersambung. Font ini juga banyak di gunakan untuk menulis surat menyurat, dan banyak juga di gunakan di dalam penulisan cerpen ataupun novel. Jenis font seperti ini mempunyai ketebalan yang rata tidak seperti jenis font lain yang kadang ketebalan hurufnya tidak merata di setiap kata atau kalimat.
Lucida sans : Kata sans pada font ini mempunyai pengertian sanskerta, jadi jenis font seperti ini mempunyai fungsi atau biasa di gunakan untuk menulis kata-kata atau kalimat sanskerta. Jika kita melihat dengan seksama pada jenis font ini, font ini tidak mempunyai ketebalan yang merata tidak seperti pada font lucida handwriting yang sebelumnya.
Lucida sans Unicode : Berbeda dengan kedua font sebelumnya, font jenis ini hampir tidak memiliki karakteristik atau ciri-ciri yang sangat menonjol, font ini hampir sama dengan font standar. Dan font ini juga mempunyai ketebalan yang merata pada setiap kalimat atau tulisannya, dan warna tulisan font pun lebih jelas. Jenis font seperti ini tepatnya digunakan untuk tulisan capital atau pembuatan judul, karena font jenis ini lebih terlihat tegak dan tegas.
Minggu, 20 Februari 2011
Senin, 14 Februari 2011
BUDAYA ORGANISASI
1. Pendahuluan
Kebudayaan merupakan cermin cara berpikir dan cara bekerja manusia. Oleh karena itu,kebudayaan adalah bentuk yang sesungguhnya dari perilaku makhluk tuhan. Bukan hanya manusia yang berbudaya,binatangpun berbudaya. Bahkan, ada manusia berkebudayaan seperti binatang, dan sebaliknya binatang yang dilatih berbudaya seperti manusia.
Dalam budaya organisasi terdapat sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya,berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun, menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat control, dan membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat di tentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. istilah untuk pendapat itu adalah cultural-determinism. herskovit memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu genrsi ke generasi yang lain, dan disebut sebagai superorganic. Menurut Andeas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur social, religious, dan lain-lain. Itulah yang melatar belakangi penulisan ilmiah ini.
2. PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN BUDAYA ORGANISASI
Organisasi dapat di pandang sebagai institusi “doktriner” yang memiliki kekuatan memaksa atau sebagai alat untuk mengendalikan perilaku para anggotanya sehingga budaya organisasi merupakan budaya yang di bentuk secara normatif dan sengaja untuk menyatukan arah serta tujuan. Dengan pandangan tersebut, budaya organisasi sebagai representasi dari budaya simbolik suatu organisasi dan “bukan budaya” substansial masyarakat pada umumnya, baik individu maupun kelompok.
Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah system. Mc.Namara mengemukakan bahwa dilihat dari sisi input, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyrakat,profesi, hukum, kompetisi, dan sebagainya. Adapun dilihat dari proses, budaya organisasimengacu pada asumsi, nilai, dan norma,misalnya nilaitentang uang, waktu, manusia, fasilitas, dan ruang. Sementara dilihat dari output, berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi,teknologi,strategi,image,produk,dan sebagainya.
Pemahaman tentang budaya organisasi mengacu pada sistam makna bersama yang dianut oleh organisatoris yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi yang lain. Sisitem makna bersamaini, diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi yang j uga merupakan seperangakat karakteristik utama yang menentukan simbol-simbol khusus dalam suatu organisasi.
Ike Kusdyah Rachmawati menjelaskan bahwa terdapat tujuh karakteristik budaya organisasi, yaitu sebagai berikut:
1. Inovasi dan pengambilan resiko;
2. Perhatian ke rincian;
3. Orientasi hasil;
4. Orientasi orang;
5. Orientasi tim;
6. Keagresifan;
7. Kemantapan.
Tiap karakteristik iniberlangsung pada suatu kontinum dari rendah ke tinggi. Dengan menilai organisasi berdasarkan tujuh karakteristik tersebut, akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi. Gambaran tersebut menjadi dasar untuk pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengnai organisasi, terutama dalam menemukan solusi alternatif bagi setiap masalah yang dihadapi, dan cara para anggota berperilaku sesuai dengan harapan organisasi.
Karakteristik budaya organisasi dibangun oleh suatu kreativitas dan aktivitas anggota yang inovatif, yang berusaha membangun image yang baik tentang organisasinya. Pembaharuan terhadap kinerja dengan mempertimbangkan perubahan zaman danperkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi menjadi factor pendorong yang sangat kuat untuk merangsang anggota organisasi agar senantiasa memiliki kecerdasan dan kretivitas yang inovatif dan konstruktif.
Inovasi yang diwujudkan melalui aktivitas organisasi tidak bersifat setengah hati, melainkan melalui perencanaan yang matang da mendalam, sehingga budaya organisasi merupakan budaya yang memperhatikan rincian-rincian tugas dan kewajiban yang harus dimanifestasikan dalam perilaku konkret.
Perwujudan perilaku konkret merupakan proses membentuk kebudayaan positif dalam berorganisasi. Oleh karena itu, seluruh kegiatan organisasi diorientasikan pada hasil-hasil yang akan dicapai dengan mempertimbangkan berbagai resiko lainnya berikut alternatif pemecahan masalah.
Proses pembnentukan kebudayaan dalam beroganisasi sangat ditentukan oleh orang-orang yang menjadi pelaku organisasi. Oleh sebab itu, organisasi yang berkeinginan membangun budayanya dengan baik, senantiasa berorientasi pada personal organisasi. Penempatan anggota sebagai bagian pengambilan keputusan yang mengandung risiko. Baik dan buruknya pembentukan budaya organisasi bergantung pada professional dan tidaknya dalam melaksanakan perencanaan organisasi dan penglolaannya.
Setiap anggota bekerja menurut tugasnya masing-masing, tetatpi sebagai system yang utuh, aktivitas organisasi diwujudkan melalui pembemtukan tim kerja yang solid dan bekerja sama dalam mencapai tujuan. Oleh sebab itu, budaya organisasi perlu diorientasikan pada kinerja anggota yang sinergis sebagai satu kesatuan yang solid terhadap tugasnya masing-masing.
Tim yang mewujudkan aktivitas organisasi bergerak dianamis dan agresif sehinga program demi program dapat dituntaskan sesuai dengan jadwal yang disepakati.pelaksanaan program kerja dilakukan secara sistematis dan penuh perhitungan. Oleh karena itu, budaya organisasi berakhir pada kemantapan fungsi-fungsi dan prinsip organisasi.
Dalam konteks budaya organisasi terdapat tipologi budaya yang erat hubungannya dengan karakteristik budaya organisasi.
Jeffrey Sonnenfeld dari universitas Emory sebagaimana di jelaskan olah Ike Kudyah Rachmawati menjelaskan empat tipe budaya, yaitu sebagai beikut:
1. Tipe akademi, yaitu suatu akademi adalah tempat untuk pemanjat ajek (steady) yang ingin menguasai pekerjaan baru yang diiterimanya. Perusahaan ini suka merekrut para lulusan muda universitas, member mereka banyak pelatiham istimewa, kemudian dengan saksama, mengemudikan mereka melalui ribuan pekerjaan khusus dalam fungsi tertentu.
2. Tipe kelab, menurut Sonnenfeld, kelab menaruh nilai tinggi pada kecocokan dalam sisitem kesetiaan dan pada komitmen. Senioritas merupakan kunci pada kelab-kelab. Usia dan pengalaman diperhitungkan. Kontras dengan akademi, kelab menumbuhkan manajer sebagai generalis.
3. Tipe bisbol, tipe bisbol memendang bahwa organisasi adalah pelabuhan yang diorientsikan pada wirawasta bagi para pengambil risiko dan innovator. Tim bisbol mencari orang-orang yang berbakat dari segala usia dan pengalaman untuk dipekerjakan,dan setiap hasil kerja akan diberi upah. Organisasi menawarkan insentif yang besar bagi tim yang bekerja dengan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, seluru anggota semakin semangat bekerja dan breprestasi.
4. Tipe benteng, tipe budaya ini lebih berorientasi pada upaya mempertahankan stabilitas san keamanan eksisrensi organisasi. Seperti benteng yang menjadi penghalang berbagai benturan. Organisasi benteng lebih kuat menghadapi permasalahan dibandingkan dengan tipe budaya lainnya.
Tipe budaya yang dijelaskan diatas sebenarnya tidak dapat berdiri sendiri, sebagaimana tipe akademika, yang tidak dapat bertahan lama jika hanya berorientasi kepada karyawan baru yang kemudian dilatih. Hal tersebut karena karyawan lama yang memiliki pengalaman dalam menghadapi masalah organisasi akan sangat dibutuhkan. Demikian pula, dengan tipe organisasi tipe bisbol. Rekrutmen anggota dengan cara yang acak dan tidak menempatkan posisinya sesuai dengan keahliannya akan memperlambat tecapainya tujuan organisasi. Insentif, reward, dan berbagai bonus yang d twarkan hanya kan menambah pengeluaran organisasi, sementara hasil yang dicapai belum tentu bermanfaat untuk masa depan organisasi,karena keahlian anggota dalam bekerja merupakan salah satu factor yang menentukan kesuksesan kerja organisasi.
Organisasi yang mengutamakan pertahanan hidup memerlukan sokongan dana yang kuat, dana talangan yang memadai, dan anggaran tidak terduga yang diperlukanpun lebih besar. Oleh sebab itu, organisasi dengan tipe benteng memerlukan kompromisasi integral dengan tipe-tipe lainnya. Pertahanan organisasi didukung oleh profesionalitas kerja angota, prestasi kerja, dan tim work yang solid dan loyal terhadap norma-norma organisasi.
Budaya organisai dapat terbentuk o;eh berbagai hal yang keberadaannya merupakan keniscayaan. Apabila mengkaji tipologi budaya, dapat dipahami bahwa tidak semua organisasi bergantung pada modal, demikian pula pada orang. Organisasi dalam membentuk budayanya dapat bergantung pada beberapa pengaruh, misalnya pada kharismatik pemimpin organisasi dan label perilakunya, sehingga anggota organisasi memiliki kohesivitas yang amat dalam terhadap pinpinannya dalam bertindak. Ada pula organisasi yang budayanya terbentuk olaeh system nilai yang dianut, yang merupakan asas kehidupan oragnisasi , terutama jika dikaitkan dengan nilai-nilai deterministic yang seharusnya diyakini, misalnya organisasi keagamaan. Di pihak lain, tidak sedikit organisasi yang membangun budayanya melalui system dinasti atau regenerasi vertical, yang mengandalkan sifat-sifat organisasi yang otkrasi. Secara filosofis, pembentukan budaya organisasi tidak mutlak berada dalam satu warna karena perubahan situasi dan kondisi, kehendak dan cita-cita, visi, dan misi organisasi yang berbeda –beda.
Pada bagian lain, John P.Kotter dan James L.Heskett memaparkan pula tiga konsesp budaya oragnisasi, yaitu:
1. Budaya yang kuat;
2. Budaya yang secara strategis cocok;
3. Budaya adaptif.
Akhmad sudrajat menjelaskan bahwa budaya yang sangat strategis secara ekplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep utama yang digunakan di sisni adalah “kecocokan”. Sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi objektif dari organisainya atau startegi usahanya.
2. PEMBETUKAN BUDAYA ORGANISASI
Taliziduha Ndraha menginventarisasikan sumber-sumber pembentuk budaya organisasi, di antaranya:
1. Pendiri organisasi;
2. Pemilik organisasi;
3. Sumber daya tenaga asing;
4. Eksternal organisasi;
5. Orang yang berkepentingan dengan organisasi (stake holder); dan
6. Masyarakat
Secara antropologis, keadaan lingkungan sosio-kultural dalam masayarakat yang berorganisasi erat hubungannya dengan proses pembentukan kebudayaan. Adapun kebudayaan itu memiliki banyak batasan. Hal ini karena kebudayaan adalah seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang kalau dilaksanakan oleh para anggotanya, melahirkan perilaku yang dipandang layak, pantas, dan dapat diterima.
Realitaas kehidupan manusia diinstitusikan melalui system social tertentu melalui proses interaksi diantara para pelaku organisasi. Dengan pemahaman ini, perilaku organisasi akan terbentuk secara integral. Terbentuknya sosio-kultural ditentukan oleh: (a) adanya budaya yang dibagi bersama; (b) budaya yang dilembagakan menjadi norma-norma social; (c) budaya yang dibatinkan oleh individu-individu menjadi motivasi-motivasi. Kondisi ini dimungkinkan karena sebuah system social akan didukung oleh empat subsistem, yaitu kebudayaan (culture), social (social), kepribadian (personality), dan organisme (behavior organism). Keempat subsistem ini bertengging jawab terhadap kesatuan system bertindak, yaitu pertahanan pola tingkah laku. Integritas, pencapaian tujuan, dan proses adaptasi sepenuhnya terdapat dalam proses pembentukan budaya organisasi.
Dengan demikian, setiap perilaku yang bersifat personal dapat diadaptasikan atau beradaptasi dengan personal lainnya. Jika dalam perilaku terdapat tujuan yang sama, terbentuklah proses integrasi satu sama lainnya. Proses integrasi inilah yang dapat membentuk norma-norma social tertentu yang kemudian menjelma menjadi budaya denga system nilai yang laten, sebagaimana terdapat dalam organisasi.
Pola kebudayaan dalam organisasi saling berhubungan secara timbal balik dan merupakan sebuah system yang hidup. Ilustrasi dari semua jalinan tersebut adalah bahwa organisasi adalah system social. Sementara itu, system social adalah sumber integrasi. Sitem kepribadian memenuhi kebutuhan pencapian tujuan. System budaya mempertahankan pola-pola yang ada dalam system. System tingkah laku memenuhi kebutuhan yang bersifat penyesuaian. Keempat hal itu mampu mempertemukan empat system yang saling bergantung satu sama lainnya, yaitu kebudayaan, sosiel, kepribadian, dan organisme perilaku. Keempatnya mampu memperlakukan system itu sebagai sebuah system yang memenuhi prasyarat funsional system bertindak. Bentuk system bertindak adalah perilaku yang memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisasi secara simbolis, yaitu: (1) pencarian pemuasan psikis; (2) pengertian dalam menguraikan pengertian simbolis; (3) kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organisfisis; (4) kebutuhan berhubungan dengan manusia.
Proses penyatupaduan norma social dalam organisasi merupakan hukum tertua dalam tata cara berorganisasi, yang sekaligus sebagai proses terciptanya budaya oarganisasi. Perilaku tradisional organisasi yang sangat kuat dan membentuk karakteristik social yang kolektif dan homogen adalah norma-norma yang terdapat dalam organisasi. Oleh karena itu, organisasi bukan sekedar wadah untuk berkumpulnya manusia, tetapi yang lebih substansial lagi, organisasi merupakan gejala budaya yang kemudian menjadi norma social terbaku dalam masyarakat. Kepercayaan dan keterkaitan batinkepada organisasi akan memudahkan anggotanya untuk mentradisikan norma dalam bentuknya yang konkret, sehingga terbentuknya social normative lebih efektif.
Tradisi social yang bersifat normatif dan menjadi hokum social dalam berorganisasi, merupakan gejala social sehingga tidak dapat terlepas dari proses konfiguratif unsure-unsur kehidupan manusia dengan pandangan hidupnya, yaitu dengan adanya proses adaptation yang dalam subsistem behavioral organism akan menciptakan keyakinan dan perasaan yang bersifat konstan sehingga mampu menciptakan kebersamaan dalam prinsip-prinsip social budaya.
Perilaku organisasi sebagai gejala social dapat dipandang sebagai karakteristik cultural yang diinstitusionalisasikan melalui enama karakter budaya, sebagaimana disebutkan Fred Luthan, yaitu sebagai berikut.
1. Proses saling belajar dalam berbudaya melalui interaksi dalam masyarakat yang terorganisasi atau masyarakat yang kompleks.
2. Proses saling berbagi budaya (share culture) diantara anggota organisasi.
3. Proses saling mewariskan budaya dari generasi ke generasi berikutnya.
4. Proses simbolisasi perilaku yang dipandang representative bagi integrasi social-kultural organisasi.
5. Proses paternalisasi sebagai pembentukan dan pengintegrasian perilaku social organisasi.
6. Proses adaptasi dari semua perilaku anggota, yang memperkuat heterogenitas perilaku, sebaliknya memperlemah pluralism dan dinamika tindakan social dalam organisasi.
Proses pembentukan norma social melalui perilaku dan budaya organisasi berjalan melalui eman tahapan tesebut, kemudian menjadi karakter social normatif yang integrative, baik pada pola perilakunya maupun pada berbagai aspek yang mendukung pemolaan perilaku social yang bersangkutan. Sumber perilaku social lebih besar didomonasi oleh loyalitas terhadap norma-norma yang disepakati oleh seluruh pelaku organisasi.
3.SUMBER-SUMBER BUDAYA ORGANISASI
Perbedaan budaya organisasi biasanya dipengaruhi oleh tujuh karakteristik organisasi berikut.
1. Innovation and risk taking, anggota organisasi berani melakukan inovasi dan mengambil resiko.
2. Attention to detail, anggota organisasi lebih teliti dalam melakukan aktivitas dan menghindari berbagai bentuk pelanggaran yang akan merugikan lembaga.
3. Outcomes orientation, organisasi beorientasi pada hasil yang dicapai.
4. People prientation, lembaga akan memikirkan efek terhadap karyawannya ketika mengambil keputusan.
5. Team orientation, organisasi yang mengutamakan kerjasama tim (misal tim sepak bola) akan emnbangun budaya yang mendukung kerja sama tim. Besar kemungkinan mereka akan sering melakukan acara team building.
6. Aggresivennes. Organisasi mendorong anggotanya untuk bersikap agresif dan berjiwa kompetitif daripada bersantai-santai ria.
7. Stability. organisasi yang menjunjung stabilitas cenderung bersikap sangat konservatif dan tidak akan mendorong karyawannya untuk sering menulurkan ide-ide beru. Karyawannya hanya dituntut untuk mengikuti pattern yang sudah terbentuk.
Budaya organisasi memiliki kegunaan sbagai berikut.
1. Pembeda dari organisasi lainnya;
2. Identitas anggota sebuah organisasi;
3. Komitmen anggota diatas kepentingan bersama;
4. Perekat social dengan menyediakan standar yang anggota harus lakukan dan katakan;
5. Mekanisme control yang membentuk perilaku anggota.
Proses pembentukan budaya organisasi akan terus berjalan hingga akhirnya mengakar ke dalam bentuk perilaku anggota atau yang disebut dengan internalisasi budaya organisasi. Budaya yang sudah mengakar akan sulit untuk diubah. Terkadang, budaya organisasi harus diganti jika ingin mengikuti perkembangan zaman supaya tetap mapu berkompetisi. Budaya akan mengkibatkan anggota organisasi memiliki kecenderungan yang sama dalam bertingkah laku dan berkata. Ketika ada orang lain yang tidak berlaku seperti kebanyakan anggota, orang tersebut akan terisolasi. Keterisolasiannya akan menekan orang tersebut sehingga dia tidak akan mampu mengeluarkan kemampuannya yang terbaik. Ada kalanya organisasi akan terkena akuisisi ataupun demerger dengan organisasi lain, seperti layaknya perusahaan. Jika budaya didalam dua organisasi tersebut berbeda, sehingga akan terjadi benturan yang memungkinkan gejolak.
Gejolak social adalah salah satu factor penyebab lahirnya budaya baru yang lebih antisipatif terhadap perkembangan zaman. Budaya organisasi yang telah teruji setelah mengalami benturan dengan budaya organisasi lain akan lebih kuat memberikan nilai-nilai doktrinasi kepada anggota-anggotanya. Akibatnya, tidak sedikit anggota yang terjebak dalam perilaku budaya organisasi yang fanatic dan terlampau mendewakan organisasinya sendiri.
Howard Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate Culture And Bussines Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat alternative pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu: (1) melupakan budaya; (2) mengendalikan budaya disekitarnya; (3) mengupayakan untuk mengubah unsur-unsur budaya agar cocok dengan strategi; dan (4) mengubah strategi. Selanjutnya Bambang Tri Cahyono dengan mengutip pemikiran Alan Kennedy dalam bukunya corporate culture mengemukakaan bahwa secara besar-besaran, yaitu: (1) jika organisasi memiliki nilai-nilai yang kuat, namun tidak cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) jika organisasi sangat bersaing dan bergerak dangan kecepatan kilat; (3) jika organisasi kelas menengah kondisinya lebih buruk lagi; (4) jika organisasi mulai memasuki peringkat sangat besar; dan (5) jika organisasi kecil tetapi berkembang pesat.
Budaya organisasi berhubungan dengan presepsi anggota terhadap karakteristik budaya organisasinya. Budaya organiasasi menyatakan suatu presepsi bersama yang sianut oleh anggota-anggota organisasi itu. Itulah sebabnya, budaya sebagai dari makna bersama (shared), yang mampu mengintegrasikan kebudayaan individu yang ebraneka ragam demi tujuan bersama.
Ada lima system budaya yang amat penting, yaitu:
1. Sumber nilaiyang diyakini kebenarannya;
2. Kebutuhan yang sama dari anggota terhadap keadilan dan tanggung jawab kebersamaan;
3. Sosialisasi yang diadaptasikan dengan kebudayaan local setempat;
4. Struktur kepemimpinan dan kekuasaan yang otoriter atau charisma yang teradaptasikan secara turun-temurun;
5. Persepsi yang sama tentang kemaslahatan yang diperoleh secara social.
Sumber ilai yang di rujuk berasal dari keyakinan manusia terhadap ajaran-ajaran agama dan falsafah kehidupan. Oleh karena itu, kabudayaan secara langsung dibentuk oleh nilai-nilai sacral yang berasal dari ajaran agama. Sumber budaya lainnya adalah kepemimpinan dan peran pemimpin organisasi yang menerapkan pola-pola kepemimpinan yang berbeda-beda. Sumber budaya lainnyadapat berupa kebiasaan atau dapat kebiasaan atau adat masyarakat yang telah lama di jadikan norma social. Adat yang diyakini dapat mengelola kehidupan masyarakat dengan baik menjadi tolok ukur tentang baik dan buruknya tindakan social.
3. PENUTUP
Dari tulisan di atas dapat kita simpulkan bahwa budaya organisasi bisa timbul dari berbagai sumber, misalnya: bisa timbul dari kebiasaan sehari-hari, agama, adat istiadat, dan lain-lain. Dan banyak pula pendapat ataupun teori-teori dari ilmuwan atau tokoh-tokoh dunia yang beraneka ragam bentuknya. Keberadaan penulisan ilmiah ini diharapkan semakin menambah informasi dan ilmu pengetahuan yang berguna untuk menmbah wawasan, teori, dan pendekatan-pendekatan yang terdapat dalam budaya organisasi.
Penulisan ilmiah diatas sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya masukan atau saran yang bisa membantu dan membangun penulisan ilmiah ini.
4. DAFTAR PUSTAKA
Hikmat dan Akdon. Manajemen Pendidikan. Bandung: pustaka setia. 2009
Riwon Alfrey, Kulturalisasi Visi Dalam Organisasi, loc.cit.
Ike Kusdyah Rachmawati, Manajemen Konsep-Konsep Dasar dan Pengantar Teori, universitas Muhammadiyah Malang, 2004,hlm.72.
Ibid hlm.73.
Ibid hlm.73-74.
John P. Kotter dan James L. Heskett,Corporate Culture and Performance, (terj. Benyamin Molan), PT prehalindo: Jakarta, 1998, hlm 5.
Akhmad Sudrajat, Budaya Organisasi, loc.cit.
Taliziduhu Ndraha, Budaya Organisasi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm.11.
Fred Luthan, loc.cit,hlm 26.
Firmanfajar.wordpress.com/2007/10/16/Kultur-Organisasi
Akhmadsudrajad.wordpress.com/2008/01/27/Budaya-Organisasi-di-sekolah. Lihat pula dalam ww.psb-psma.org/content/blog/Budaya-Organisasi-di-Sekolah.
1. Pendahuluan
Kebudayaan merupakan cermin cara berpikir dan cara bekerja manusia. Oleh karena itu,kebudayaan adalah bentuk yang sesungguhnya dari perilaku makhluk tuhan. Bukan hanya manusia yang berbudaya,binatangpun berbudaya. Bahkan, ada manusia berkebudayaan seperti binatang, dan sebaliknya binatang yang dilatih berbudaya seperti manusia.
Dalam budaya organisasi terdapat sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya,berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun, menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat control, dan membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat di tentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. istilah untuk pendapat itu adalah cultural-determinism. herskovit memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu genrsi ke generasi yang lain, dan disebut sebagai superorganic. Menurut Andeas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur social, religious, dan lain-lain. Itulah yang melatar belakangi penulisan ilmiah ini.
2. PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN BUDAYA ORGANISASI
Organisasi dapat di pandang sebagai institusi “doktriner” yang memiliki kekuatan memaksa atau sebagai alat untuk mengendalikan perilaku para anggotanya sehingga budaya organisasi merupakan budaya yang di bentuk secara normatif dan sengaja untuk menyatukan arah serta tujuan. Dengan pandangan tersebut, budaya organisasi sebagai representasi dari budaya simbolik suatu organisasi dan “bukan budaya” substansial masyarakat pada umumnya, baik individu maupun kelompok.
Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah system. Mc.Namara mengemukakan bahwa dilihat dari sisi input, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyrakat,profesi, hukum, kompetisi, dan sebagainya. Adapun dilihat dari proses, budaya organisasimengacu pada asumsi, nilai, dan norma,misalnya nilaitentang uang, waktu, manusia, fasilitas, dan ruang. Sementara dilihat dari output, berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi,teknologi,strategi,image,produk,dan sebagainya.
Pemahaman tentang budaya organisasi mengacu pada sistam makna bersama yang dianut oleh organisatoris yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi yang lain. Sisitem makna bersamaini, diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi yang j uga merupakan seperangakat karakteristik utama yang menentukan simbol-simbol khusus dalam suatu organisasi.
Ike Kusdyah Rachmawati menjelaskan bahwa terdapat tujuh karakteristik budaya organisasi, yaitu sebagai berikut:
1. Inovasi dan pengambilan resiko;
2. Perhatian ke rincian;
3. Orientasi hasil;
4. Orientasi orang;
5. Orientasi tim;
6. Keagresifan;
7. Kemantapan.
Tiap karakteristik iniberlangsung pada suatu kontinum dari rendah ke tinggi. Dengan menilai organisasi berdasarkan tujuh karakteristik tersebut, akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi. Gambaran tersebut menjadi dasar untuk pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengnai organisasi, terutama dalam menemukan solusi alternatif bagi setiap masalah yang dihadapi, dan cara para anggota berperilaku sesuai dengan harapan organisasi.
Karakteristik budaya organisasi dibangun oleh suatu kreativitas dan aktivitas anggota yang inovatif, yang berusaha membangun image yang baik tentang organisasinya. Pembaharuan terhadap kinerja dengan mempertimbangkan perubahan zaman danperkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi menjadi factor pendorong yang sangat kuat untuk merangsang anggota organisasi agar senantiasa memiliki kecerdasan dan kretivitas yang inovatif dan konstruktif.
Inovasi yang diwujudkan melalui aktivitas organisasi tidak bersifat setengah hati, melainkan melalui perencanaan yang matang da mendalam, sehingga budaya organisasi merupakan budaya yang memperhatikan rincian-rincian tugas dan kewajiban yang harus dimanifestasikan dalam perilaku konkret.
Perwujudan perilaku konkret merupakan proses membentuk kebudayaan positif dalam berorganisasi. Oleh karena itu, seluruh kegiatan organisasi diorientasikan pada hasil-hasil yang akan dicapai dengan mempertimbangkan berbagai resiko lainnya berikut alternatif pemecahan masalah.
Proses pembnentukan kebudayaan dalam beroganisasi sangat ditentukan oleh orang-orang yang menjadi pelaku organisasi. Oleh sebab itu, organisasi yang berkeinginan membangun budayanya dengan baik, senantiasa berorientasi pada personal organisasi. Penempatan anggota sebagai bagian pengambilan keputusan yang mengandung risiko. Baik dan buruknya pembentukan budaya organisasi bergantung pada professional dan tidaknya dalam melaksanakan perencanaan organisasi dan penglolaannya.
Setiap anggota bekerja menurut tugasnya masing-masing, tetatpi sebagai system yang utuh, aktivitas organisasi diwujudkan melalui pembemtukan tim kerja yang solid dan bekerja sama dalam mencapai tujuan. Oleh sebab itu, budaya organisasi perlu diorientasikan pada kinerja anggota yang sinergis sebagai satu kesatuan yang solid terhadap tugasnya masing-masing.
Tim yang mewujudkan aktivitas organisasi bergerak dianamis dan agresif sehinga program demi program dapat dituntaskan sesuai dengan jadwal yang disepakati.pelaksanaan program kerja dilakukan secara sistematis dan penuh perhitungan. Oleh karena itu, budaya organisasi berakhir pada kemantapan fungsi-fungsi dan prinsip organisasi.
Dalam konteks budaya organisasi terdapat tipologi budaya yang erat hubungannya dengan karakteristik budaya organisasi.
Jeffrey Sonnenfeld dari universitas Emory sebagaimana di jelaskan olah Ike Kudyah Rachmawati menjelaskan empat tipe budaya, yaitu sebagai beikut:
1. Tipe akademi, yaitu suatu akademi adalah tempat untuk pemanjat ajek (steady) yang ingin menguasai pekerjaan baru yang diiterimanya. Perusahaan ini suka merekrut para lulusan muda universitas, member mereka banyak pelatiham istimewa, kemudian dengan saksama, mengemudikan mereka melalui ribuan pekerjaan khusus dalam fungsi tertentu.
2. Tipe kelab, menurut Sonnenfeld, kelab menaruh nilai tinggi pada kecocokan dalam sisitem kesetiaan dan pada komitmen. Senioritas merupakan kunci pada kelab-kelab. Usia dan pengalaman diperhitungkan. Kontras dengan akademi, kelab menumbuhkan manajer sebagai generalis.
3. Tipe bisbol, tipe bisbol memendang bahwa organisasi adalah pelabuhan yang diorientsikan pada wirawasta bagi para pengambil risiko dan innovator. Tim bisbol mencari orang-orang yang berbakat dari segala usia dan pengalaman untuk dipekerjakan,dan setiap hasil kerja akan diberi upah. Organisasi menawarkan insentif yang besar bagi tim yang bekerja dengan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, seluru anggota semakin semangat bekerja dan breprestasi.
4. Tipe benteng, tipe budaya ini lebih berorientasi pada upaya mempertahankan stabilitas san keamanan eksisrensi organisasi. Seperti benteng yang menjadi penghalang berbagai benturan. Organisasi benteng lebih kuat menghadapi permasalahan dibandingkan dengan tipe budaya lainnya.
Tipe budaya yang dijelaskan diatas sebenarnya tidak dapat berdiri sendiri, sebagaimana tipe akademika, yang tidak dapat bertahan lama jika hanya berorientasi kepada karyawan baru yang kemudian dilatih. Hal tersebut karena karyawan lama yang memiliki pengalaman dalam menghadapi masalah organisasi akan sangat dibutuhkan. Demikian pula, dengan tipe organisasi tipe bisbol. Rekrutmen anggota dengan cara yang acak dan tidak menempatkan posisinya sesuai dengan keahliannya akan memperlambat tecapainya tujuan organisasi. Insentif, reward, dan berbagai bonus yang d twarkan hanya kan menambah pengeluaran organisasi, sementara hasil yang dicapai belum tentu bermanfaat untuk masa depan organisasi,karena keahlian anggota dalam bekerja merupakan salah satu factor yang menentukan kesuksesan kerja organisasi.
Organisasi yang mengutamakan pertahanan hidup memerlukan sokongan dana yang kuat, dana talangan yang memadai, dan anggaran tidak terduga yang diperlukanpun lebih besar. Oleh sebab itu, organisasi dengan tipe benteng memerlukan kompromisasi integral dengan tipe-tipe lainnya. Pertahanan organisasi didukung oleh profesionalitas kerja angota, prestasi kerja, dan tim work yang solid dan loyal terhadap norma-norma organisasi.
Budaya organisai dapat terbentuk o;eh berbagai hal yang keberadaannya merupakan keniscayaan. Apabila mengkaji tipologi budaya, dapat dipahami bahwa tidak semua organisasi bergantung pada modal, demikian pula pada orang. Organisasi dalam membentuk budayanya dapat bergantung pada beberapa pengaruh, misalnya pada kharismatik pemimpin organisasi dan label perilakunya, sehingga anggota organisasi memiliki kohesivitas yang amat dalam terhadap pinpinannya dalam bertindak. Ada pula organisasi yang budayanya terbentuk olaeh system nilai yang dianut, yang merupakan asas kehidupan oragnisasi , terutama jika dikaitkan dengan nilai-nilai deterministic yang seharusnya diyakini, misalnya organisasi keagamaan. Di pihak lain, tidak sedikit organisasi yang membangun budayanya melalui system dinasti atau regenerasi vertical, yang mengandalkan sifat-sifat organisasi yang otkrasi. Secara filosofis, pembentukan budaya organisasi tidak mutlak berada dalam satu warna karena perubahan situasi dan kondisi, kehendak dan cita-cita, visi, dan misi organisasi yang berbeda –beda.
Pada bagian lain, John P.Kotter dan James L.Heskett memaparkan pula tiga konsesp budaya oragnisasi, yaitu:
1. Budaya yang kuat;
2. Budaya yang secara strategis cocok;
3. Budaya adaptif.
Akhmad sudrajat menjelaskan bahwa budaya yang sangat strategis secara ekplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep utama yang digunakan di sisni adalah “kecocokan”. Sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi objektif dari organisainya atau startegi usahanya.
2. PEMBETUKAN BUDAYA ORGANISASI
Taliziduha Ndraha menginventarisasikan sumber-sumber pembentuk budaya organisasi, di antaranya:
1. Pendiri organisasi;
2. Pemilik organisasi;
3. Sumber daya tenaga asing;
4. Eksternal organisasi;
5. Orang yang berkepentingan dengan organisasi (stake holder); dan
6. Masyarakat
Secara antropologis, keadaan lingkungan sosio-kultural dalam masayarakat yang berorganisasi erat hubungannya dengan proses pembentukan kebudayaan. Adapun kebudayaan itu memiliki banyak batasan. Hal ini karena kebudayaan adalah seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang kalau dilaksanakan oleh para anggotanya, melahirkan perilaku yang dipandang layak, pantas, dan dapat diterima.
Realitaas kehidupan manusia diinstitusikan melalui system social tertentu melalui proses interaksi diantara para pelaku organisasi. Dengan pemahaman ini, perilaku organisasi akan terbentuk secara integral. Terbentuknya sosio-kultural ditentukan oleh: (a) adanya budaya yang dibagi bersama; (b) budaya yang dilembagakan menjadi norma-norma social; (c) budaya yang dibatinkan oleh individu-individu menjadi motivasi-motivasi. Kondisi ini dimungkinkan karena sebuah system social akan didukung oleh empat subsistem, yaitu kebudayaan (culture), social (social), kepribadian (personality), dan organisme (behavior organism). Keempat subsistem ini bertengging jawab terhadap kesatuan system bertindak, yaitu pertahanan pola tingkah laku. Integritas, pencapaian tujuan, dan proses adaptasi sepenuhnya terdapat dalam proses pembentukan budaya organisasi.
Dengan demikian, setiap perilaku yang bersifat personal dapat diadaptasikan atau beradaptasi dengan personal lainnya. Jika dalam perilaku terdapat tujuan yang sama, terbentuklah proses integrasi satu sama lainnya. Proses integrasi inilah yang dapat membentuk norma-norma social tertentu yang kemudian menjelma menjadi budaya denga system nilai yang laten, sebagaimana terdapat dalam organisasi.
Pola kebudayaan dalam organisasi saling berhubungan secara timbal balik dan merupakan sebuah system yang hidup. Ilustrasi dari semua jalinan tersebut adalah bahwa organisasi adalah system social. Sementara itu, system social adalah sumber integrasi. Sitem kepribadian memenuhi kebutuhan pencapian tujuan. System budaya mempertahankan pola-pola yang ada dalam system. System tingkah laku memenuhi kebutuhan yang bersifat penyesuaian. Keempat hal itu mampu mempertemukan empat system yang saling bergantung satu sama lainnya, yaitu kebudayaan, sosiel, kepribadian, dan organisme perilaku. Keempatnya mampu memperlakukan system itu sebagai sebuah system yang memenuhi prasyarat funsional system bertindak. Bentuk system bertindak adalah perilaku yang memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisasi secara simbolis, yaitu: (1) pencarian pemuasan psikis; (2) pengertian dalam menguraikan pengertian simbolis; (3) kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organisfisis; (4) kebutuhan berhubungan dengan manusia.
Proses penyatupaduan norma social dalam organisasi merupakan hukum tertua dalam tata cara berorganisasi, yang sekaligus sebagai proses terciptanya budaya oarganisasi. Perilaku tradisional organisasi yang sangat kuat dan membentuk karakteristik social yang kolektif dan homogen adalah norma-norma yang terdapat dalam organisasi. Oleh karena itu, organisasi bukan sekedar wadah untuk berkumpulnya manusia, tetapi yang lebih substansial lagi, organisasi merupakan gejala budaya yang kemudian menjadi norma social terbaku dalam masyarakat. Kepercayaan dan keterkaitan batinkepada organisasi akan memudahkan anggotanya untuk mentradisikan norma dalam bentuknya yang konkret, sehingga terbentuknya social normative lebih efektif.
Tradisi social yang bersifat normatif dan menjadi hokum social dalam berorganisasi, merupakan gejala social sehingga tidak dapat terlepas dari proses konfiguratif unsure-unsur kehidupan manusia dengan pandangan hidupnya, yaitu dengan adanya proses adaptation yang dalam subsistem behavioral organism akan menciptakan keyakinan dan perasaan yang bersifat konstan sehingga mampu menciptakan kebersamaan dalam prinsip-prinsip social budaya.
Perilaku organisasi sebagai gejala social dapat dipandang sebagai karakteristik cultural yang diinstitusionalisasikan melalui enama karakter budaya, sebagaimana disebutkan Fred Luthan, yaitu sebagai berikut.
1. Proses saling belajar dalam berbudaya melalui interaksi dalam masyarakat yang terorganisasi atau masyarakat yang kompleks.
2. Proses saling berbagi budaya (share culture) diantara anggota organisasi.
3. Proses saling mewariskan budaya dari generasi ke generasi berikutnya.
4. Proses simbolisasi perilaku yang dipandang representative bagi integrasi social-kultural organisasi.
5. Proses paternalisasi sebagai pembentukan dan pengintegrasian perilaku social organisasi.
6. Proses adaptasi dari semua perilaku anggota, yang memperkuat heterogenitas perilaku, sebaliknya memperlemah pluralism dan dinamika tindakan social dalam organisasi.
Proses pembentukan norma social melalui perilaku dan budaya organisasi berjalan melalui eman tahapan tesebut, kemudian menjadi karakter social normatif yang integrative, baik pada pola perilakunya maupun pada berbagai aspek yang mendukung pemolaan perilaku social yang bersangkutan. Sumber perilaku social lebih besar didomonasi oleh loyalitas terhadap norma-norma yang disepakati oleh seluruh pelaku organisasi.
3.SUMBER-SUMBER BUDAYA ORGANISASI
Perbedaan budaya organisasi biasanya dipengaruhi oleh tujuh karakteristik organisasi berikut.
1. Innovation and risk taking, anggota organisasi berani melakukan inovasi dan mengambil resiko.
2. Attention to detail, anggota organisasi lebih teliti dalam melakukan aktivitas dan menghindari berbagai bentuk pelanggaran yang akan merugikan lembaga.
3. Outcomes orientation, organisasi beorientasi pada hasil yang dicapai.
4. People prientation, lembaga akan memikirkan efek terhadap karyawannya ketika mengambil keputusan.
5. Team orientation, organisasi yang mengutamakan kerjasama tim (misal tim sepak bola) akan emnbangun budaya yang mendukung kerja sama tim. Besar kemungkinan mereka akan sering melakukan acara team building.
6. Aggresivennes. Organisasi mendorong anggotanya untuk bersikap agresif dan berjiwa kompetitif daripada bersantai-santai ria.
7. Stability. organisasi yang menjunjung stabilitas cenderung bersikap sangat konservatif dan tidak akan mendorong karyawannya untuk sering menulurkan ide-ide beru. Karyawannya hanya dituntut untuk mengikuti pattern yang sudah terbentuk.
Budaya organisasi memiliki kegunaan sbagai berikut.
1. Pembeda dari organisasi lainnya;
2. Identitas anggota sebuah organisasi;
3. Komitmen anggota diatas kepentingan bersama;
4. Perekat social dengan menyediakan standar yang anggota harus lakukan dan katakan;
5. Mekanisme control yang membentuk perilaku anggota.
Proses pembentukan budaya organisasi akan terus berjalan hingga akhirnya mengakar ke dalam bentuk perilaku anggota atau yang disebut dengan internalisasi budaya organisasi. Budaya yang sudah mengakar akan sulit untuk diubah. Terkadang, budaya organisasi harus diganti jika ingin mengikuti perkembangan zaman supaya tetap mapu berkompetisi. Budaya akan mengkibatkan anggota organisasi memiliki kecenderungan yang sama dalam bertingkah laku dan berkata. Ketika ada orang lain yang tidak berlaku seperti kebanyakan anggota, orang tersebut akan terisolasi. Keterisolasiannya akan menekan orang tersebut sehingga dia tidak akan mampu mengeluarkan kemampuannya yang terbaik. Ada kalanya organisasi akan terkena akuisisi ataupun demerger dengan organisasi lain, seperti layaknya perusahaan. Jika budaya didalam dua organisasi tersebut berbeda, sehingga akan terjadi benturan yang memungkinkan gejolak.
Gejolak social adalah salah satu factor penyebab lahirnya budaya baru yang lebih antisipatif terhadap perkembangan zaman. Budaya organisasi yang telah teruji setelah mengalami benturan dengan budaya organisasi lain akan lebih kuat memberikan nilai-nilai doktrinasi kepada anggota-anggotanya. Akibatnya, tidak sedikit anggota yang terjebak dalam perilaku budaya organisasi yang fanatic dan terlampau mendewakan organisasinya sendiri.
Howard Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate Culture And Bussines Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat alternative pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu: (1) melupakan budaya; (2) mengendalikan budaya disekitarnya; (3) mengupayakan untuk mengubah unsur-unsur budaya agar cocok dengan strategi; dan (4) mengubah strategi. Selanjutnya Bambang Tri Cahyono dengan mengutip pemikiran Alan Kennedy dalam bukunya corporate culture mengemukakaan bahwa secara besar-besaran, yaitu: (1) jika organisasi memiliki nilai-nilai yang kuat, namun tidak cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) jika organisasi sangat bersaing dan bergerak dangan kecepatan kilat; (3) jika organisasi kelas menengah kondisinya lebih buruk lagi; (4) jika organisasi mulai memasuki peringkat sangat besar; dan (5) jika organisasi kecil tetapi berkembang pesat.
Budaya organisasi berhubungan dengan presepsi anggota terhadap karakteristik budaya organisasinya. Budaya organiasasi menyatakan suatu presepsi bersama yang sianut oleh anggota-anggota organisasi itu. Itulah sebabnya, budaya sebagai dari makna bersama (shared), yang mampu mengintegrasikan kebudayaan individu yang ebraneka ragam demi tujuan bersama.
Ada lima system budaya yang amat penting, yaitu:
1. Sumber nilaiyang diyakini kebenarannya;
2. Kebutuhan yang sama dari anggota terhadap keadilan dan tanggung jawab kebersamaan;
3. Sosialisasi yang diadaptasikan dengan kebudayaan local setempat;
4. Struktur kepemimpinan dan kekuasaan yang otoriter atau charisma yang teradaptasikan secara turun-temurun;
5. Persepsi yang sama tentang kemaslahatan yang diperoleh secara social.
Sumber ilai yang di rujuk berasal dari keyakinan manusia terhadap ajaran-ajaran agama dan falsafah kehidupan. Oleh karena itu, kabudayaan secara langsung dibentuk oleh nilai-nilai sacral yang berasal dari ajaran agama. Sumber budaya lainnya adalah kepemimpinan dan peran pemimpin organisasi yang menerapkan pola-pola kepemimpinan yang berbeda-beda. Sumber budaya lainnyadapat berupa kebiasaan atau dapat kebiasaan atau adat masyarakat yang telah lama di jadikan norma social. Adat yang diyakini dapat mengelola kehidupan masyarakat dengan baik menjadi tolok ukur tentang baik dan buruknya tindakan social.
3. PENUTUP
Dari tulisan di atas dapat kita simpulkan bahwa budaya organisasi bisa timbul dari berbagai sumber, misalnya: bisa timbul dari kebiasaan sehari-hari, agama, adat istiadat, dan lain-lain. Dan banyak pula pendapat ataupun teori-teori dari ilmuwan atau tokoh-tokoh dunia yang beraneka ragam bentuknya. Keberadaan penulisan ilmiah ini diharapkan semakin menambah informasi dan ilmu pengetahuan yang berguna untuk menmbah wawasan, teori, dan pendekatan-pendekatan yang terdapat dalam budaya organisasi.
Penulisan ilmiah diatas sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya masukan atau saran yang bisa membantu dan membangun penulisan ilmiah ini.
4. DAFTAR PUSTAKA
Hikmat dan Akdon. Manajemen Pendidikan. Bandung: pustaka setia. 2009
Riwon Alfrey, Kulturalisasi Visi Dalam Organisasi, loc.cit.
Ike Kusdyah Rachmawati, Manajemen Konsep-Konsep Dasar dan Pengantar Teori, universitas Muhammadiyah Malang, 2004,hlm.72.
Ibid hlm.73.
Ibid hlm.73-74.
John P. Kotter dan James L. Heskett,Corporate Culture and Performance, (terj. Benyamin Molan), PT prehalindo: Jakarta, 1998, hlm 5.
Akhmad Sudrajat, Budaya Organisasi, loc.cit.
Taliziduhu Ndraha, Budaya Organisasi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm.11.
Fred Luthan, loc.cit,hlm 26.
Firmanfajar.wordpress.com/2007/10/16/Kultur-Organisasi
Akhmadsudrajad.wordpress.com/2008/01/27/Budaya-Organisasi-di-sekolah. Lihat pula dalam ww.psb-psma.org/content/blog/Budaya-Organisasi-di-Sekolah.
Langganan:
Postingan (Atom)